Selasa, 20 Oktober 2015

Keinginan yang tak diusahan

Bismillah...

Banyak hal yang ingin ku tuliskan... namun sulit bagiku merangkainya. Tak mudah mengungkapkan segalanya.. Bahkan apa yang kuinginkan sebelumnya seolah bukan hal yang paling kuinginkan sekarang. mungkin aku ragu dengan hal yang nantinya aku hadapi. Bahkan kemungkinan seperti apa???? tak juga aku mengerti apa. terlalu banyak keinginanku, yang bahkan sedikit saja belum ada terwujud,,
Akh... aku bermimpi tapi sebenarnya tak pernah berusaha mewujudkannya,  yah percuma . "kataku dalam hati". 
Sering menggurui diri sendiri, tampak begitu konyolnya, untuk kemudian menghibur dan membenarkan kemalasanku.... 

Selasa, 25 November 2014

KETIKA JALAN ADALAH ARENA MENYUARAKAN ASPIRASI













Surat Terbuka untuk Mahasiswa Makassar ~
Penghormatan layak diberikan kepada mereka (mahasiswa) Makassar yang melakukan aksi penolakan rencana kenaikan BBM yang berakhir bentrok dengan aparat. Inilah anak muda Makassar yang tak tau sopan santun atas kekuasaan yang semena-mena. Tak takut dengan moncong senjata, gas air mata dan water cannon, apalagi hanya kerangkeng besi dan sanksi dropout (DO) dari kampus. Berbeda dengan mahasiswa di daerah lain. Inilah mahasiswa Makassar.
Eddri Sumitra atau E.S Ito, seorang novelis dan penulis film Indonesia, mengungkapkan kebanggaannya tentang mahasiswa Makassar, “Di Makassar anak muda tak pernah menjadi tua. Dengan kesadaran penuh mereka mengerti bahwa orde ketertiban hanyalah kerangkeng kelas yang memenjarakan anak-anak muda. Mereka senantiasa bergemuruh, penuh semangat dan tiada henti memaki kekuasaan.
Di Makassar, kampus-kampus masih milik anak muda berlapis kelas, beragam latar belakang dan berjenis-jenis manusianya. Itu sebabnya energi mereka terpelihara dengan baik.
Terkadang mereka melakukan latihan layaknya pasukan terlatih, dengan batu dan parang baku hantam sesamanya. Tidak usah panik, inilah anak muda. Tanpa kelahi mana mungkin palu mereka terlatih merobohkan pintu kekuasaan. Dengan kelahi anak-anak muda itu telah menjadi generasi bunga dengan cara mereka sendiri. sebab mereka percaya kesantunan, senyuman, adat istiadat jongkok kemayu adalah feodalisme terselubung ala seberang pulau sana. Di kaki Celebes sana, mereka menolak untuk tertib. Sebab ketertiban hanya senda gurau penguasa mengatasi kepanikan.
Di Jakarta, jalan bukan lagi milik anak muda apalagi mahasiswa. Kampus-kampus beraneka warna jaket mereka telah terhubung baik dengan industri televisi. Organisasi mahasiswa masih mengumpulkan massa, tetapi mereka tidak perlu lagi menyewa bus kota. Mereka masih mengenakan jaket almamater tetapi tidak lagi menantang teriknya mentari. Mahasiswa-mahasiswa Jakarta magang di televisi, menjadi massa bodoh yang senantiasa bergantian menjadi audiens talkshow televisi.
Mahasiswa Mapan
Di salah satu kampus terkenal di Jakarta, jumlah mobil mahasiswanya lebih banyak dibanding total mahasiswa miskin yang kuliah, keseragaman menguntungkan penguasa. Bagi anak-anak mami itu, gerakan sosial adalah ancaman untuk kemapanan rutinitas mereka.
Bocah-bocah yang tidak pernah beranjak dewasa itu dimanja oleh kampus. Mereka tidak perlu diskusi bermacam-macam, cukup main futsal saja di waktu senggang. Sebab setiap fakultas tersedia lapangan futsal yang mungkin menjadi mimpi bagi mahasiswa di kampus-kampus luar daerah. Beginilah kampus melayani anak-anak mami, dengan cara memaksa mereka tetap menjadi bocah-bocah mapan yang takut dengan jalanan.
Di Jakarta, penguasa dan penggugat dikalahkan oleh ketakutan mereka sendiri. Tetapi di Makassar, kelas menengah dan agen perubahan hanya milik mahasiswa; mereka menolak untuk takut. Di sana demonstrasi tak pernah berubah menjadi karnaval. Tangan tak boleh berhenti terkepal. Dan bila aparat keamanan telah menyiapkan tameng dan tongkat, itu artinya jangan pernah bermimpi untuk pulang di siang bolong. Mudah menuduh aksi mereka rusuh, tidak terkendali, anarkis dan segala macam tudingan lainnya.
Tetapi bukankah memang demikian tabiat anak muda, sedikit konyol tetapi penuh gairah. Dalam sistem politik, dimana semuanya terpusat di Jakarta, maka daerah-daerah bahkan sebesar Makassar tidak pernah diisi oleh elit-elit yang diakui secara nasional. Semua elit berkumpul di Jakarta, mulai dari elit politik hingga pelacur kelas tinggi. Itu sebabnya panggung jalanan mereka tidak memberi ruang untuk orang-orang tua yang berusaha sok muda.
Jalanan milik mahasiswa dan anak muda. Jaket-jaket almamater mereka tidak pernah wangi untuk acara televisi, mereka kumal dibakar terik mentari dan debu jalanan. Maka, bila di Makassar sana, anak-anak muda masih berkelahi melawan ketertiban sambil sesekali memungut batu sebagai senjata; dengan semua kekonyolan mereka, itulah anak muda!. …Selamat tinggal mahasiswa Jakarta”.
Intelektual Organik
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Antonio Gramsci (1891-1937) filsuf Itali yang menilai kelompok terdidik seperti mahasiswa adalah kaum intelektual yang tidak sekedar menjelaskan kehidupan sosial dari luar berdasarkan kaidah-kaidah saintifik, tapi juga memakai bahasa kebudayaan untuk mengekspresikan perasaan dan pengalaman real yang tidak bisa diekspresikan oleh masyarakat sendiri (Leszek Kolakowski, 1978:240).
Mahasiswa sebagai kelompok intelektual adalah mereka yang mampu merasakan emosi, semangat, dan apa yang dirasakan rakyat miskin di negeri ini atas ketidakadilan yang diciptakan penguasa. Inilah salah satu tugas kaum intelektual kampus menurut Gramsci.
Dalam upaya melakukan perubahan sosial, mahasiswa memerlukan penyusunan dan pengorganisasian ‘masyarakat intelektual’ yang mengekspresikan kondisi dan menghadirkan suara-suara kepentingan masyarakat bawah melalui aksi jalanan (demonstrasi), gerakan literasi, dan bentuk gerakan sosial lainnya. Di Makassar, anak muda dan mahasiswa lebih banyak memilih jalanan sebagai arena menentang rezim.
Dr. Mansour Fakih dalam bukunya yang berjudul ‘Jalan lain: Manifesto Intelektual Organik’ sebagai golongan intelektual juga mengatakan hal yang sama. “Tugas kaum terdidik memang bukan sekedar ‘memberi makna’ terhadap realitas sosial, ketidakadilan sosial saat ini, dan meratapinya. Tugas kaum terdidik sebagai intelektual adalah ikut menciptakan sejarah dengan membangun gerakan pemikiran dan kesadaran kritis untuk memberi makna masa depan,” kata Mansour Fakih.
Anak-anak muda dan mahasiswa Makassar juga mengingatkan penulis kepada seorang sejarawan dunia, Pramoedya Ananta Toer yang mengatakan “Sejarah dunia adalah sejarah orang muda. Apabila angkatan muda mati rasa, maka matilah sejarah sebuah bangsa”.
Penulis sengaja mengutip beberapa pandangan tentang anak muda dan mahasiswa sebagai penghormatan kepada mereka (mahasiswa) Makassar yang memilih jalanan sebagai arena menentang kekuasaan. Kalian tidak sendiri !. Tirani akan terus memerangi daya kritis anak muda dan mahasiswa, serta mempertahankan kebodohan.. (*)

Sabtu, 15 November 2014

Harapanku Ada Pada SatuTtitik Yang Jauh

Ketika Langkah demi langkah kuayun... Tak terasa berada pada titik yang mungkin bagi sebagian perempuan ini adalah masa yang menjenuhkan.. Bahkan bagi seorang perempuan sepertiku, belum ada hal yang bisa kucapai. Tak muluk harapanku, hanya ingin mengenyam segala asa yang sedari dulu tertancap dibenakku. yah, hanya asa saja... tidak tahu kapan segalanya bisa tercapai... tumpukan impian yang entah kapan akan terwujud. hanya bisa  menghela nafas perlahan sebagai tanda bahwasanya semua terasa rumit ku gapai.