Surat Terbuka untuk Mahasiswa Makassar ~
Penghormatan layak diberikan kepada mereka (mahasiswa) Makassar yang melakukan aksi penolakan rencana kenaikan BBM yang
berakhir bentrok dengan aparat. Inilah anak muda Makassar yang tak tau
sopan santun atas kekuasaan yang semena-mena. Tak takut dengan moncong
senjata, gas air mata dan water cannon, apalagi hanya kerangkeng besi
dan sanksi dropout (DO) dari kampus. Berbeda dengan mahasiswa di daerah
lain. Inilah mahasiswa Makassar.
Eddri Sumitra atau E.S Ito,
seorang novelis dan penulis film Indonesia, mengungkapkan kebanggaannya
tentang mahasiswa Makassar, “Di Makassar anak muda tak pernah menjadi
tua. Dengan kesadaran penuh mereka mengerti bahwa orde ketertiban
hanyalah kerangkeng kelas yang memenjarakan anak-anak muda. Mereka
senantiasa bergemuruh, penuh semangat dan tiada henti memaki kekuasaan.
Di Makassar, kampus-kampus masih milik anak muda berlapis kelas,
beragam latar belakang dan berjenis-jenis manusianya. Itu sebabnya
energi mereka terpelihara dengan baik.
Terkadang mereka
melakukan latihan layaknya pasukan terlatih, dengan batu dan parang baku
hantam sesamanya. Tidak usah panik, inilah anak muda. Tanpa kelahi mana
mungkin palu mereka terlatih merobohkan pintu kekuasaan. Dengan kelahi
anak-anak muda itu telah menjadi generasi bunga dengan cara mereka
sendiri. sebab mereka percaya kesantunan, senyuman, adat istiadat
jongkok kemayu adalah feodalisme terselubung ala seberang pulau sana. Di
kaki Celebes sana, mereka menolak untuk tertib. Sebab ketertiban hanya
senda gurau penguasa mengatasi kepanikan.
Di Jakarta, jalan
bukan lagi milik anak muda apalagi mahasiswa. Kampus-kampus beraneka
warna jaket mereka telah terhubung baik dengan industri televisi.
Organisasi mahasiswa masih mengumpulkan massa, tetapi mereka tidak perlu
lagi menyewa bus kota. Mereka masih mengenakan jaket almamater tetapi
tidak lagi menantang teriknya mentari. Mahasiswa-mahasiswa Jakarta
magang di televisi, menjadi massa bodoh yang senantiasa bergantian
menjadi audiens talkshow televisi.
Mahasiswa Mapan
Di salah
satu kampus terkenal di Jakarta, jumlah mobil mahasiswanya lebih banyak
dibanding total mahasiswa miskin yang kuliah, keseragaman menguntungkan
penguasa. Bagi anak-anak mami itu, gerakan sosial adalah ancaman untuk
kemapanan rutinitas mereka.
Bocah-bocah yang tidak pernah
beranjak dewasa itu dimanja oleh kampus. Mereka tidak perlu diskusi
bermacam-macam, cukup main futsal saja di waktu senggang. Sebab setiap
fakultas tersedia lapangan futsal yang mungkin menjadi mimpi bagi
mahasiswa di kampus-kampus luar daerah. Beginilah kampus melayani
anak-anak mami, dengan cara memaksa mereka tetap menjadi bocah-bocah
mapan yang takut dengan jalanan.
Di Jakarta, penguasa dan
penggugat dikalahkan oleh ketakutan mereka sendiri. Tetapi di Makassar,
kelas menengah dan agen perubahan hanya milik mahasiswa; mereka menolak
untuk takut. Di sana demonstrasi tak pernah berubah menjadi karnaval.
Tangan tak boleh berhenti terkepal. Dan bila aparat keamanan telah
menyiapkan tameng dan tongkat, itu artinya jangan pernah bermimpi untuk
pulang di siang bolong. Mudah menuduh aksi mereka rusuh, tidak
terkendali, anarkis dan segala macam tudingan lainnya.
Tetapi
bukankah memang demikian tabiat anak muda, sedikit konyol tetapi penuh
gairah. Dalam sistem politik, dimana semuanya terpusat di Jakarta, maka
daerah-daerah bahkan sebesar Makassar tidak pernah diisi oleh elit-elit
yang diakui secara nasional. Semua elit berkumpul di Jakarta, mulai dari
elit politik hingga pelacur kelas tinggi. Itu sebabnya panggung jalanan
mereka tidak memberi ruang untuk orang-orang tua yang berusaha sok
muda.
Jalanan milik mahasiswa dan anak muda. Jaket-jaket
almamater mereka tidak pernah wangi untuk acara televisi, mereka kumal
dibakar terik mentari dan debu jalanan. Maka, bila di Makassar sana,
anak-anak muda masih berkelahi melawan ketertiban sambil sesekali
memungut batu sebagai senjata; dengan semua kekonyolan mereka, itulah
anak muda!. …Selamat tinggal mahasiswa Jakarta”.
Intelektual Organik
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Antonio Gramsci (1891-1937)
filsuf Itali yang menilai kelompok terdidik seperti mahasiswa adalah
kaum intelektual yang tidak sekedar menjelaskan kehidupan sosial dari
luar berdasarkan kaidah-kaidah saintifik, tapi juga memakai bahasa
kebudayaan untuk mengekspresikan perasaan dan pengalaman real yang tidak
bisa diekspresikan oleh masyarakat sendiri (Leszek Kolakowski,
1978:240).
Mahasiswa sebagai kelompok intelektual adalah mereka
yang mampu merasakan emosi, semangat, dan apa yang dirasakan rakyat
miskin di negeri ini atas ketidakadilan yang diciptakan penguasa. Inilah
salah satu tugas kaum intelektual kampus menurut Gramsci.
Dalam
upaya melakukan perubahan sosial, mahasiswa memerlukan penyusunan dan
pengorganisasian ‘masyarakat intelektual’ yang mengekspresikan kondisi
dan menghadirkan suara-suara kepentingan masyarakat bawah melalui aksi
jalanan (demonstrasi), gerakan literasi, dan bentuk gerakan sosial
lainnya. Di Makassar, anak muda dan mahasiswa lebih banyak memilih
jalanan sebagai arena menentang rezim.
Dr. Mansour Fakih dalam
bukunya yang berjudul ‘Jalan lain: Manifesto Intelektual Organik’
sebagai golongan intelektual juga mengatakan hal yang sama. “Tugas kaum
terdidik memang bukan sekedar ‘memberi makna’ terhadap realitas sosial,
ketidakadilan sosial saat ini, dan meratapinya. Tugas kaum terdidik
sebagai intelektual adalah ikut menciptakan sejarah dengan membangun
gerakan pemikiran dan kesadaran kritis untuk memberi makna masa depan,”
kata Mansour Fakih.
Anak-anak muda dan mahasiswa Makassar juga
mengingatkan penulis kepada seorang sejarawan dunia, Pramoedya Ananta
Toer yang mengatakan “Sejarah dunia adalah sejarah orang muda. Apabila
angkatan muda mati rasa, maka matilah sejarah sebuah bangsa”.
Penulis sengaja mengutip beberapa pandangan tentang anak muda dan
mahasiswa sebagai penghormatan kepada mereka (mahasiswa) Makassar yang
memilih jalanan sebagai arena menentang kekuasaan. Kalian tidak sendiri
!. Tirani akan terus memerangi daya kritis anak muda dan mahasiswa,
serta mempertahankan kebodohan.. (*)